Selasa, 06 Mei 2008

Dibutuhkan Perempuan Berkualitas di Pemilu 2009

*Diskusi Publik Sukseskan Kuota 30 Persen Perempuan pada Pemilu 2009


“SAYA pernah difitnah, pernah didzalimi. Kerja sampai jam 3 pagi dan hanya tidur 2 jam sehari. Itu yang saya kerjakan.” Anggota DPR RI, Andi Yuliani Paris menuturkan kisah awal membangun kariernya di ranah politik.


LAPORAN Anita Anggriany

Sebagai perempuan dan ibu tiga orang anak, wakil ketua Pansus UU Pemilu itu mengaku harus menanggalkan perasaannya dan lebih mengedepankan logika berpikir untuk bisa terjun dalam dunia politik yang menurutnya kejam. Sebab, hanya dengan kecerdasan dan kemampuan memainkan emosi, ruang politik menjadi lebih nyaman bagi perempuan.
Artinya, kuota 30 Persen bagi perempuan yang kini diakomodasi oleh UU No 10 tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR/DPD/DPRD, terasa tak lagi penting ketika perempuan sendiri tak pernah siap untuk terjun berpolitik dengan cerdas dan mental yang kuat.
“Dibutuhkan kerja keras dan tidak pakai mo’jo untuk terjun ke politik,” tandas Yuliani Paris yang bersama Mappinawang SH, Ketua KPUD Sulsel, menjadi narasumber di hadapan puluhan perempuan dan segelintir laki-laki dalam acara diskusi publik yang bertema Sukseskan Kuota 30 Persen Perempuan pada Pemilu 2009, yang diselenggarakan oleh Kaukus Perempuan Politik Indonesia Sulsel, di Hotel Singgasana Jumat, 25 April 2008.
Kesalahan terbesar para politisi perempuan menurut Yuli, yaitu tidak mau belajar sehingga mudah dibodohi oleh rekan politik lelaki. Pernyataan ini terasa tak jamak, tetapi dibenarkan oleh Mappinawang.
Menurut Mappi, seringkali pimpinan parpol sendiri yang membodohi anggotanya.”Saya tidak punya kata-kata yang tepat untuk membahasakan kondisi ini, tetapi kenyataannya demikian,” tandas Mappinawang.
Bahkan untuk kerja politik ini, Mappinawang menandaskan perempuan harus mengedepankan rasio. “Harus bisa cerdas dan kritis,” katanya lagi.
Yang jelas, kata dia, selalu saja ada resistensi dari kaum pria bila perempuan diberi ruang yang lebih lebar pada ranah ini. Misalnya kata dia, menghadapi UU kuota 30 persen, politisi lelaki dengan gampangnya menegaskan bahwa hal tersebut diskriminatif bagi perempuan karena hanya 30 persen.
“Seharusnya mereka diberi porsi yang sama dengan lelaki yaitu 100 persen”. Tapi persoalannya, apakah perempuan siap untuk menjalani kerja-kerja politis tersebut, tanya Mappi.
Ketua KPPI Sulsel, Andi Mariattang menegaskan bahwa diskusi ini adalah upaya KPPI Sulsel untuk memberikan pencerahan kepada politisi perempuan se Sulsel bahwa betapa pentingnya belajar dan bekerja cerdas pada ranah ini. Dia berharap, dari diskusi ini akan ada hasil yang bisa dibawa oleh KPPI untuk menyukseskan kuota 30 persen tersebut.
Bersyukur bahwa UU No2 tahun 2008 dan UU No10/2008 mengatur keterwakilan perempuan dalam politik. Termasuk mengatur pasal-pasal sanksi bila parpol tak mengakomodasi kehadiran perempuan dalam
partainya.
Kini, bola ada di tangan perempuan. Tinggal bagaimana mereka memainkan bola tersebut dengan bekerja lebih keras dan lebih cerdas.(***)