Senin, 29 Desember 2008

Kebanyakan Harga Diri Anak "Jatuh" dari Rumah

*Catatan untuk para orangtua dan Calon orangtua

"... Kita melampiaskan 99 persen kemarahan justeru kepada orang-orang yang kita cintai. Dan akibatnya sering kali fatal..."
Kebanyakan mereka yang menjadi pelampiasan amarah orang tua adalah anak-anak.

Laporan Anita Anggriany
Tidak banyak orang tua menyadari bahwa baik buruknya mental dan jiwa anak terbentuk dari perilaku mereka ketika mengasuh anak sejak kecil. Mereka yang mendapat pengasuhan dengan perilaku yang positif, menghasilkan anak-anak dengan mentalitas yang positif. Sebaliknya mental mereka menjadi kerdil dan negatif karena pola asuh yang negatif.
Kenyataan di atas bahwa hampir 99 persen kemarahan orang tua dilampiaskan kepada anak tentu sangat mengejutkan. Namun menurut President Director Auladi Parenting School, Ihsan Baihaqi Ibnu Bukhari, kondisi inilah yang terjadi.
"Hanya ada dua pesan yang kita sampaikan kepada anak-anak, apakah itu merendahkan atau menghidupkan," tandas Ihsan, dalam pelatihan Program Sekolah Pengasuhan Anak yang berlangsung di Baruga Anging Mamiri. Program ini dilaksanakan oleh Kidz-O dan Rumah Sekolah Cendekia pada, Sabtu-Minggu, 25-26 Oktober 2008.
Pesan ini kata Ihsan, kemudian membekas lama dan berlangsung panjang sampai seusia anak tersebut. Kenyataannya, sebagian pesan yang dikirim orang tua bukan menghidupkan tetapi malah merendahkan anak-anak.
"Akibat perilaku negatif orang tua dalam mengasuh, anak-anak malah kehilangan harga diri. Harga diri mereka jatuh dari dalam rumah sendiri," ujar Ihsan kepada Fajar di sela-sela acara.
Akhirnya, kata dia, generasi penerus itu memilih untuk mencari harga dirinya di luar rumah. Mereka lebih mempercayai teman, pacar dan orang lain untuk berbagi kisah, kesedihan dan kehidupan sehari-hari. Bahkan mereka lebih nyaman dengan orang lain daripada orang tua di rumah.
Padahal menurut Ihsan, kalau saja orang tua tahu bagaimana mengasuh anak dengan benar, maka tidak perlu mahal-mahal mengadakan kampanye antinarkoba dan seks bebas. "Kalau saja kita bisa melakukan yang terbaik untuk anak kita, pada akhirnya mereka akan tahu ke mana mereka datang, apa yang harus mereka lakukan dan ke mana mereka akan pergi," tandasnya.
Ihsan mengatakan, sebenarnya tidak sulit untuk menjadi orang tua yang baik untuk anak. Asal orang tua mau belajar dan terus memperbaiki diri. Tentu saja, kata dia, tidak pernah ada sekolah tentang bagaimana menjadi orang tua. Itu sebabnya, tak jarang, cara pengasuhan anak pun menjadi trial and error. Kita mencoba dan gagal, lalu coba lagi. Sementara anak yang menjadi "uji coba" kita itu semakin bertumbuh, belajar dari trial and error itu.
Itu sebabnya, Ihsan dan sejumlah temannya membangun sekolah untuk orang tua atau Parenting School. Sekolah itu mengajarkan kepada orang tua bagaimana mengasuh anak yang baik.

Berpikir Positif dan Mendengarkan

Ada sejumlah hal yang menjadi pijakan dalam mengasuh anak seperti yang diajarkan dalam Parenting School. Di antaranya adalah berpikir positif dan bagaimana menjadi pendengar yang baik untuk anak.
Ihsan mengingatkan, bahwa sebagai orang tua, kita memiliki 100 persen energi. Demikian pula dengan anak, mereka pun memiliki 100 persen energi. Persoalannya, ke mana akan kita arahkan energi ini? "Apakah ke arah positif atau ke arah negatif, ini semuanya tergantung orang tua," tandas Ihsan.
Yang jelas, kata dia, kalau kita selalu memikirkan hal-hal negatif yang ada pada anak, atau bahkan pasangan kita, maka hasilnya pun akan negatif. "Jangan selalu mencari siapa yang salah ketika ada masalah yang dilakukan anak, tetapi sebaliknya kita mencari solusi dari masalah yang terjadi".
Misalnya, anak kita menjatuhkan pot bunga. Yang kita lakukan adalah bagaimana meminta anak untuk berhati-hati agar tidak terjadi kesalahan lagi, bukan malah memarahinya dan memberikan sanksi atas kesalahan yang tidak disengaja itu.
Namun begitu, bukan berarti orang tua tidak boleh marah, sedih atau kecewa bila anak-anak melakukan kesalahan. Tetapi semua perasaan itu seharusnya diekspresikan dengan cara yang lebih baik dan tidak kasar.
"Kita bisa katakan pada anak, bahwa kita kecewa anak melakukan kesalahan ini, tetapi tidak dengan nada marah, melainkan menyampaikan dengan lembut. Sehingga anak-anak mengerti bahwa mereka telah mengecewakan ibu atau ayahnya," ujar Ihsan.
Selain itu, yang tak kalah pentingnya adalah bagaimana menjadi orang tua yang mendengarkan anak. Ihsan menekankan bahwa mendengarkan bukan hanya sekadar memasang kuping lalu pikiran dan hati tidak fokus pada apa yang disampaikan anak. Mendegarkan itu kata dia, adalah talking heart by heart.
"Kita berhasil mendengarkan bila kita bisa menangkap pikiran dan perasaan anak," tandas Ihsan.
Mendengarkan anak ketika bercerita, bukan hanya menjalin komunikasi dan hubungan yang baik dengan anak. Tetapi yang lebih penting lagi, mendengarkan bisa membantu anak untuk membuka perasaan dan berbagi dengan orang lain.
Apa akibatnya bila kita tidak mendengar anak? "Kita menghambat perasaan anak, sehingga menjadi kotor, mampet dan suatu saat akan meledak," ujar Ihsan. (anita@fajar.co.id)

1 komentar:

Info-PSPA Duri mengatakan...

ukhti, kami minta ijin melink ke homepage ini ya..utk keperluan perjuangan kami di PSPA DUri..jzkk..wass..
Eva