Kamis, 19 Februari 2009

Bukan Karena Pemilu..

TENGAH hari, Jumat 20 Februari 2009, ada pemandangan mengharukan yang dipersaksikan di jalan Urip Sumoharjo Makassar. Saat itu, aku sedang bergegas ke kantor dengan motorku. Berjalan tenang dan penuh kehati-hatian.

Sebuah iring-iringan ditimpali bunyi sirene mobil ambulans menyampaikan tanda kematian seorang hambaNYA, melintas dan mengambil sebagian besar badan jalan. Ah, pemandangan yang hampir selalu biasa diperlihatkan kepada masyarakat. Bahwa, para pengantar jenazah adalah penguasa jalan saat itu.

Namun, bukan itu yang menarik perhatianku. Tetapi, ambulans yang mengangkut jenazah. Ini diluar kebiasaan sehari-hari. Ambulans yang seringkali lewat, biasanya berwarna putih dan bertanda palang merah. Sangat standar kesehatan.

Kali ini tidak. Ada gambar seorang calon anggota legislatif untuk DPR RI dari Fraksi PAN di badan ambulans itu. Wajahnya tersenyum ramah, dengan warna baju yang cukup terang. Lumayanlah, hari itu pikiranku tentang "kematian" tidak terlalu menyedihkan karena gambar wajah caleg yang tersenyum dan warna terang tadi.
Sesungguhnya orangnya kukenal cukup baik. Mungkin juga sangat dikenal di kota Makassar dan Sulsel. Namun, setidaknya ada warna lain yang kulihat dari perhatian anggota DPR RI Ini.

Sepanjang jalan, aku berpikir, kalau boleh dibilang sedikit merenung tentang apa yang terjadi.

Akhir-akhir ini menurutku, wajah kota Makassar, mungkin juga kota-kota lainnya, agak berubah menjelang pemilu legislatif 2009. Tampilannya kini menjadi seronok, dipenuhi baliho dan gambar-gambar caleg. Berwarna warni, mengikuti warna partai yang dijagokan dan menjagokannya. Memang sih, ada juga yang memiriskan, karena hampir semua pohon di pinggir jalan jadi tempat gantungan gratis gambar-gambar para caleg itu.

Mungkin kalau pohon-pohon itu bisa berbicara, betapa mereka merintih kesakitan dan menangis akibat perlakuan manusia terhadap mahluk Allah yang lain itu.
Tapi, begitulah kondisi masyarakat kita. Para caleg dengan tegas berusaha menyakinkan masyarakat bahwa mereka akan memperjuangkan nasib rakyat. Tapi anehnya, mereka sendiri tidak mampu menjaga lingkungan mereka, misalnya menjaga pohon.
Wajah lain yang juga terlihat adalah, ya itu tadi, tiba-tiba semua orang yang mencalonkan diri menjadi anggota legislatif menjadi sangat.. sangat ramah. Tidak hanya itu, mereka pun mau berkorban membantu sesama. Memberi pertolongan kepada rakyat, membagi beras, sembako, mie instant dan makanan bagi rakyat kecil.

Mereka rela turun ke desa-desa terpencil, membawa makanan yang layak untuk warga, membawakan pengobatan gratis, membantu menguruskan sertifikat tanah rumah warga. Bahkan, menyediakan mobil Ambulans untuk mengantar jenazah bagi warga. Ah, semua wajah penuh senyum ramah dan simpatik.

Saat ini, aku yang rakyat biasa, bisa merasakan betapa bahagia bisa dikunjungi orang. Apalagi mereka membawa pertolongan. Ada makanan, pakaian, dan ya, selembar kartu bertuliskan nama dan nomor serta foto orang tadi.

Namun, aku tidak habis pikir... Kenapa ya, kebaikan itu dilakukan hanya nanti menjelang pemilu? Kenapa membantu dan menolong orang yang susah, nanti dilakukan saat mencalonkan diri menjadi anggota legislatif? Kenapa kebaikan itu dilakukan nanti ada pamrihnya.

Coba bayangkan, kalau saja sifat baik ini dilakukan orang setiap saat. Tidak harus setiap hari, mungkin seminggu sekali, duh, betapa bahagianya masyarakat dan warga kecil lainnya. Apalagi bila pemberian itu dilakukan dengan tulus ikhlas, tanpa ditambahi embel-embel kartu nama untuk dipilih... ck..ck.., mungkin rakyat kita akan sejahtera.

Kita tidak perlu lagi berteriak-teriak mengingatkan pemerintah untuk menolong rakyatnya. Tidak perlu lagi ada jualan program "kesehatan gratis atau pendidikan gratis".. Sebab, semuanya "for free" untuk masyarakat.. Mungkin ini disebut dengan masyarakat madani yang sering didengung-dengungkan itu...
Kalau saja, tidak karena pemilu....


Graha Pena, Jumat, 20 Februari 2009

Tidak ada komentar: