Kamis, 19 Februari 2009

Ironi Partai Politik di Semarak Pemilu 2009 (2-Selesai)

Partai Bisa Berhenti Menerima
"Sumbangan" Pemerintah


Maju mundur negara sebenarnya kuncinya di partai politik, karena yang berkuasa adalah partai politik. Namun bagaimana kalau perekrutan yang dilakukan parpol asal-asalan?

Laporan Anita Anggriany
(anita@fajar.co.id)

Adnan Buyung Azis, ketua LBH Makassar yakin bahwa, kemajuan bangsa ini sangat dipengaruhi oleh kebaikan partai politik yang ada. Sebab, pada akhirnya muara dari perjalanan parpol adalah kekuasaan. Maka, kata dia, kehadiran kader partai politik yang mumpuni adalah keniscayaan dalam kebaikan negara.
Namun ironisnya, Pemilu 2009 bakal diisi oleh caleg dari parpol yang bukan berasal dari kadernya. Bahkan, kalau tidak bisa dibilang, asal comot untuk melengkapi kewajiban parpol yaitu kuota 30 persen perempuan dan zipper system, agar bisa mulus melenggang di pentas pemilu 2009. Kelakuan parpol ini, bukannya tak diketahui oleh masyarakat.
Dalam Forum Diskusi Group yang digelar Komite Pemantau Legislatif (Kopel) Sulawesi yang membahas tentang Akuntabilitas Partai Politik dalam Pemilu 2009, masalah ini mengemuka. Peserta yang berasal dari berbagai kalangan itu, dengan nyata menjelaskan kondisi tersebut.
Bermunculan para caleg yang bukan kader partai, terlebih tidak memahami visi dan misi parpol, menjadi keprihatinan banyak orang. Sebab, bukan isapan jempol bila kondisi ini benar-benar terjadi saat ini.
Rosmiati, peserta dari LSM menemukan fakta bahwa ada beberapa caleg yang meminta pendapat dari LSM nya apa yang cocok dikampanyekan kepada masyarakat. " Ini lucu karena seharusnya isu-isu yang menjadi bahan kampanye mestinya sudah digodok di partai mereka," tandas Ros, pada diskusi yang gelar di Hotel Denpasar, Makassar, Sabtu, 7 Februari.
Hasilnya, partai seperti tak memiliki pijakan kuat di masyarakat. Karena tak jelas apa yang ingin dicapai dan dilakukan.
Pengamat Politik Sulsel, Mappinawang menegaskan kejadian ini tidak terjadi kalau saja yang mengendalikan partai adalah kader-kader partai. "Kalau tidak maka akan banyak orang-orang partai yang tidak mengetahui visi misinya karena memang tidak diajarkan dari awal," tandas Mappinawang.
Maka, mantan Ketua KPUD Sulsel "berkampanye" bahwa kalau pemilih mau memilih partai, maka perlu digeledah dulu apa yang menjadi visi misi dan program sebuah partai.
Dalam dialog lepas sesuai acara, Mappinawang mengatakan bahwa sebenarnya, bisa saja caleg dari partai tidak harus orang partai, tetapi tokoh-tokoh di luar partai yang memiliki visi dan misi yang sama dengan partai.
"Artinya bahwa, kader partai tidak harus menjadi caleg. Mereka, hanya mengurus partai dan merancang program yang sejalan dengan aspirasi masyarakat," tandasnya.
Sehingga, pada akhirnya, partai tidak lagi perlu mendapat "sumbangan" dari pemerintah berupa biaya pembinaan partai yang jumlahnya dihitung berdasarkan perolehan kursi di parlemen.
"Pada akhirnya, partai akan dibiayai oleh konstituennya karena merasa terwakili aspirasinya melalui partai tersebut," tandas Mappinawang.
Diakhir pendapatnya, Mappinawang menegaskan bahwa yang diperlukan sekarang adalah meminta pertanggungjawaban partai politik apa yang menjadi hasil dari program-program yang mereka usung selama ini. Isunya, tidak melulu apa yang harus dikerjakan. "Isu yang perlu didorong juga sekarang ini adalah isu-isu HAM". (*)

Ironi Partai Politik di Semarak Pemilu 2009 (1)

*
Caleg, Jelaskan Visi Misi Parpolmu!


"...Kalau saja kita mau menghitung siapa yang paling banyak memberikan kontribusi kekacauan di negara kita, itu adalah partai politik!"

Laporan Anita Anggriany
anita@fajar.co.id

"Penyebab yang disadari, banyak caleg yang tidak mengerti visi mis partai politiknya sendiri. Bahkan ada pengurus inti yang sama sekali tidak tahu,". Pernyataan itu dilontarkan pengamat politik Sulsel Prof Aswanto pada Forum Diskusi Group yang membahas tentang Survey Akuntabilitas Parpol yang dilaksanakan oleh Komite Pemantau Legislatif (Kopel) Sulawesi, Sabtu 7 Februari 2009.
Sedikit mengutip pernyataan Dosen Unhas, Dedy Tikson, pada kalimat awal, Aswanto mengatakan kerugian negara yang disebabkan oleh parpol ini karena mereka tidak memahami apa itu demokrasi. Padahal, salah satu yang ingin dilakukan parpol adalah pembelajaran politik bagi masyarakat. "Ironisnya, mereka sendiri belum memahami apa itu demokrasi," tandas mantan Ketua Panwaslu Sulsel itu.
Pernyataan Aswanto ini, setidaknya didukung oleh hampir separuh peserta diskusi yang berasal dari berbagai kalangan itu.
Hal paling sederhana yang menjadi pertanyaan, apakah para caleg yang diusung partai mereka itu mengenali dan memahami dengan baik apa visi misi parpolnya.
"Saya pernah bertanya pada beberapa orang apa visi misi mereka dan parpolnya, sehingga dia maju menjadi caleg. Jawabannya, menyedihkan sekali, mereka bilang nda perlu dibahas itu, karena ini bukan ujian soal," tandas Aswanto.
Ada pendapat bahwa persoalan ini mengemuka karena, parpol selama ini kehilangan ideologinya. Asumsinya ini terjadi akibat eforia berdemokrasi pasca orde baru yang membelenggu kebebasan masyarakat untuk berpolitik.
Koordinator Kopel Sulawesi, Syamsuddin Alimsyah mengatakan, terjadi pergeseran nilai-nilai dalam parpol mulai dari orde lama hingga reformasi. Pada orde lama, masing-masing partai membawa ideologinya masuk dalam pemerintahan. "Misalnya Masyumi yang menang, maka dia akan membawa ideologinya dalam pemerintahan," ujar Syam yang menjadi moderator kala itu.
Pada orde baru, ideologi tunggal yang "dipaksa" oleh pemerintah tak bisa membuat partai banyak cincong. Mereka hanya mengemukakan program-program kerja.
Namun, kondisi dinilai parah pada era reformasi, semuanya terasa longgar. "Pascaorde baru dari konsep program menjadi “simpati” saja. Orang tidak melihat pada apa program tapi apa saja yang menarik di partai politik,"
tandas Syam.
Keadaan ini akhirnya menurun pada kualitas caleg yang diusung parpol. Tak heran, muncul seperti jamur di tengah hujan, para caleg yang "kerjanya" membagi-bagikan kaos, beras, mie instan, dan kebutuhan "perut" lainnya. Mereka tidak bekerja seperti cita-cita awal yaitu memberi pembelajaran politik pada masyarakat.
Sesungguhnya, diakui oleh peserta bahwa semua parpol memiliki visi misi. Modelnya hampir sama dengan persyaratan pembentukan parpol berdasarkan UU. Semuanya sangat bagus. Tetapi, visi misi dan program itu tidak terimplementasi dengan jelas di masyarakat. Menurut peserta, mesin politik partai macet. Mereka hanya menjalankannya pada saat ada pesta pilkada dan pemilu. (*)

Bukan Karena Pemilu..

TENGAH hari, Jumat 20 Februari 2009, ada pemandangan mengharukan yang dipersaksikan di jalan Urip Sumoharjo Makassar. Saat itu, aku sedang bergegas ke kantor dengan motorku. Berjalan tenang dan penuh kehati-hatian.

Sebuah iring-iringan ditimpali bunyi sirene mobil ambulans menyampaikan tanda kematian seorang hambaNYA, melintas dan mengambil sebagian besar badan jalan. Ah, pemandangan yang hampir selalu biasa diperlihatkan kepada masyarakat. Bahwa, para pengantar jenazah adalah penguasa jalan saat itu.

Namun, bukan itu yang menarik perhatianku. Tetapi, ambulans yang mengangkut jenazah. Ini diluar kebiasaan sehari-hari. Ambulans yang seringkali lewat, biasanya berwarna putih dan bertanda palang merah. Sangat standar kesehatan.

Kali ini tidak. Ada gambar seorang calon anggota legislatif untuk DPR RI dari Fraksi PAN di badan ambulans itu. Wajahnya tersenyum ramah, dengan warna baju yang cukup terang. Lumayanlah, hari itu pikiranku tentang "kematian" tidak terlalu menyedihkan karena gambar wajah caleg yang tersenyum dan warna terang tadi.
Sesungguhnya orangnya kukenal cukup baik. Mungkin juga sangat dikenal di kota Makassar dan Sulsel. Namun, setidaknya ada warna lain yang kulihat dari perhatian anggota DPR RI Ini.

Sepanjang jalan, aku berpikir, kalau boleh dibilang sedikit merenung tentang apa yang terjadi.

Akhir-akhir ini menurutku, wajah kota Makassar, mungkin juga kota-kota lainnya, agak berubah menjelang pemilu legislatif 2009. Tampilannya kini menjadi seronok, dipenuhi baliho dan gambar-gambar caleg. Berwarna warni, mengikuti warna partai yang dijagokan dan menjagokannya. Memang sih, ada juga yang memiriskan, karena hampir semua pohon di pinggir jalan jadi tempat gantungan gratis gambar-gambar para caleg itu.

Mungkin kalau pohon-pohon itu bisa berbicara, betapa mereka merintih kesakitan dan menangis akibat perlakuan manusia terhadap mahluk Allah yang lain itu.
Tapi, begitulah kondisi masyarakat kita. Para caleg dengan tegas berusaha menyakinkan masyarakat bahwa mereka akan memperjuangkan nasib rakyat. Tapi anehnya, mereka sendiri tidak mampu menjaga lingkungan mereka, misalnya menjaga pohon.
Wajah lain yang juga terlihat adalah, ya itu tadi, tiba-tiba semua orang yang mencalonkan diri menjadi anggota legislatif menjadi sangat.. sangat ramah. Tidak hanya itu, mereka pun mau berkorban membantu sesama. Memberi pertolongan kepada rakyat, membagi beras, sembako, mie instant dan makanan bagi rakyat kecil.

Mereka rela turun ke desa-desa terpencil, membawa makanan yang layak untuk warga, membawakan pengobatan gratis, membantu menguruskan sertifikat tanah rumah warga. Bahkan, menyediakan mobil Ambulans untuk mengantar jenazah bagi warga. Ah, semua wajah penuh senyum ramah dan simpatik.

Saat ini, aku yang rakyat biasa, bisa merasakan betapa bahagia bisa dikunjungi orang. Apalagi mereka membawa pertolongan. Ada makanan, pakaian, dan ya, selembar kartu bertuliskan nama dan nomor serta foto orang tadi.

Namun, aku tidak habis pikir... Kenapa ya, kebaikan itu dilakukan hanya nanti menjelang pemilu? Kenapa membantu dan menolong orang yang susah, nanti dilakukan saat mencalonkan diri menjadi anggota legislatif? Kenapa kebaikan itu dilakukan nanti ada pamrihnya.

Coba bayangkan, kalau saja sifat baik ini dilakukan orang setiap saat. Tidak harus setiap hari, mungkin seminggu sekali, duh, betapa bahagianya masyarakat dan warga kecil lainnya. Apalagi bila pemberian itu dilakukan dengan tulus ikhlas, tanpa ditambahi embel-embel kartu nama untuk dipilih... ck..ck.., mungkin rakyat kita akan sejahtera.

Kita tidak perlu lagi berteriak-teriak mengingatkan pemerintah untuk menolong rakyatnya. Tidak perlu lagi ada jualan program "kesehatan gratis atau pendidikan gratis".. Sebab, semuanya "for free" untuk masyarakat.. Mungkin ini disebut dengan masyarakat madani yang sering didengung-dengungkan itu...
Kalau saja, tidak karena pemilu....


Graha Pena, Jumat, 20 Februari 2009

Senin, 29 Desember 2008

Kebanyakan Harga Diri Anak "Jatuh" dari Rumah

*Catatan untuk para orangtua dan Calon orangtua

"... Kita melampiaskan 99 persen kemarahan justeru kepada orang-orang yang kita cintai. Dan akibatnya sering kali fatal..."
Kebanyakan mereka yang menjadi pelampiasan amarah orang tua adalah anak-anak.

Laporan Anita Anggriany
Tidak banyak orang tua menyadari bahwa baik buruknya mental dan jiwa anak terbentuk dari perilaku mereka ketika mengasuh anak sejak kecil. Mereka yang mendapat pengasuhan dengan perilaku yang positif, menghasilkan anak-anak dengan mentalitas yang positif. Sebaliknya mental mereka menjadi kerdil dan negatif karena pola asuh yang negatif.
Kenyataan di atas bahwa hampir 99 persen kemarahan orang tua dilampiaskan kepada anak tentu sangat mengejutkan. Namun menurut President Director Auladi Parenting School, Ihsan Baihaqi Ibnu Bukhari, kondisi inilah yang terjadi.
"Hanya ada dua pesan yang kita sampaikan kepada anak-anak, apakah itu merendahkan atau menghidupkan," tandas Ihsan, dalam pelatihan Program Sekolah Pengasuhan Anak yang berlangsung di Baruga Anging Mamiri. Program ini dilaksanakan oleh Kidz-O dan Rumah Sekolah Cendekia pada, Sabtu-Minggu, 25-26 Oktober 2008.
Pesan ini kata Ihsan, kemudian membekas lama dan berlangsung panjang sampai seusia anak tersebut. Kenyataannya, sebagian pesan yang dikirim orang tua bukan menghidupkan tetapi malah merendahkan anak-anak.
"Akibat perilaku negatif orang tua dalam mengasuh, anak-anak malah kehilangan harga diri. Harga diri mereka jatuh dari dalam rumah sendiri," ujar Ihsan kepada Fajar di sela-sela acara.
Akhirnya, kata dia, generasi penerus itu memilih untuk mencari harga dirinya di luar rumah. Mereka lebih mempercayai teman, pacar dan orang lain untuk berbagi kisah, kesedihan dan kehidupan sehari-hari. Bahkan mereka lebih nyaman dengan orang lain daripada orang tua di rumah.
Padahal menurut Ihsan, kalau saja orang tua tahu bagaimana mengasuh anak dengan benar, maka tidak perlu mahal-mahal mengadakan kampanye antinarkoba dan seks bebas. "Kalau saja kita bisa melakukan yang terbaik untuk anak kita, pada akhirnya mereka akan tahu ke mana mereka datang, apa yang harus mereka lakukan dan ke mana mereka akan pergi," tandasnya.
Ihsan mengatakan, sebenarnya tidak sulit untuk menjadi orang tua yang baik untuk anak. Asal orang tua mau belajar dan terus memperbaiki diri. Tentu saja, kata dia, tidak pernah ada sekolah tentang bagaimana menjadi orang tua. Itu sebabnya, tak jarang, cara pengasuhan anak pun menjadi trial and error. Kita mencoba dan gagal, lalu coba lagi. Sementara anak yang menjadi "uji coba" kita itu semakin bertumbuh, belajar dari trial and error itu.
Itu sebabnya, Ihsan dan sejumlah temannya membangun sekolah untuk orang tua atau Parenting School. Sekolah itu mengajarkan kepada orang tua bagaimana mengasuh anak yang baik.

Berpikir Positif dan Mendengarkan

Ada sejumlah hal yang menjadi pijakan dalam mengasuh anak seperti yang diajarkan dalam Parenting School. Di antaranya adalah berpikir positif dan bagaimana menjadi pendengar yang baik untuk anak.
Ihsan mengingatkan, bahwa sebagai orang tua, kita memiliki 100 persen energi. Demikian pula dengan anak, mereka pun memiliki 100 persen energi. Persoalannya, ke mana akan kita arahkan energi ini? "Apakah ke arah positif atau ke arah negatif, ini semuanya tergantung orang tua," tandas Ihsan.
Yang jelas, kata dia, kalau kita selalu memikirkan hal-hal negatif yang ada pada anak, atau bahkan pasangan kita, maka hasilnya pun akan negatif. "Jangan selalu mencari siapa yang salah ketika ada masalah yang dilakukan anak, tetapi sebaliknya kita mencari solusi dari masalah yang terjadi".
Misalnya, anak kita menjatuhkan pot bunga. Yang kita lakukan adalah bagaimana meminta anak untuk berhati-hati agar tidak terjadi kesalahan lagi, bukan malah memarahinya dan memberikan sanksi atas kesalahan yang tidak disengaja itu.
Namun begitu, bukan berarti orang tua tidak boleh marah, sedih atau kecewa bila anak-anak melakukan kesalahan. Tetapi semua perasaan itu seharusnya diekspresikan dengan cara yang lebih baik dan tidak kasar.
"Kita bisa katakan pada anak, bahwa kita kecewa anak melakukan kesalahan ini, tetapi tidak dengan nada marah, melainkan menyampaikan dengan lembut. Sehingga anak-anak mengerti bahwa mereka telah mengecewakan ibu atau ayahnya," ujar Ihsan.
Selain itu, yang tak kalah pentingnya adalah bagaimana menjadi orang tua yang mendengarkan anak. Ihsan menekankan bahwa mendengarkan bukan hanya sekadar memasang kuping lalu pikiran dan hati tidak fokus pada apa yang disampaikan anak. Mendegarkan itu kata dia, adalah talking heart by heart.
"Kita berhasil mendengarkan bila kita bisa menangkap pikiran dan perasaan anak," tandas Ihsan.
Mendengarkan anak ketika bercerita, bukan hanya menjalin komunikasi dan hubungan yang baik dengan anak. Tetapi yang lebih penting lagi, mendengarkan bisa membantu anak untuk membuka perasaan dan berbagi dengan orang lain.
Apa akibatnya bila kita tidak mendengar anak? "Kita menghambat perasaan anak, sehingga menjadi kotor, mampet dan suatu saat akan meledak," ujar Ihsan. (anita@fajar.co.id)

Siapkan Anak Cerdas Sejak dari Kandungan

*Membangun Kecerdasan Otak dan Spiritual Anak


BILA Shakespeare mengatakan "Apalah arti sebuah nama..." maka Prof Dr Jalaluddin Rakhmat, tokoh cendikiawan dan mubaligh Islam terkemuka di Indonesia ini berpendapat, "Nama adalah doa bagi pemiliknya...".

Laporan Anita Anggriany

INI penting bagi calon orang tua maupun mereka yang akan memiliki anak lagi. Jangan pernah abaikan nama untuk anak. Karena ternyata nama mengandung makna sangat dalam yaitu doa yang sepanjang kehidupan anak akan dirasakannya.
Inilah yang disampaikan oleh Prof Jalaluddin Rakhmat dalam Seminar "Bila Sufi mendidik Anak Dampak Doa terhadap Kecerdasan dan Spiritual Anak" yang diselenggarakan Yayasan Amalia Insani di Gedung IMMIM, Kamis, 6 November 2008.
"Semua orang tua pasti menginginkan anaknya menjadi terbaik dan kebanggaan keluarga," ujar Jalaluddin. Tetapi dia mengingatkan bahwa untuk menghadirkan anak yang seperti didambakan, orang tua harus mempersiapkan diri sejak anak masih dalam kandungan ibunya.
Yang pertama adalah mempersiapkan nama anak yang baik sebelum dia dilahirkan. Menurut Jalal yang juga salah satu ahli tafsir Alquran di Indonesia ini, Nabi Muhammad SAW seringkali menggantikan nama orang yang kurang bagus dengan nama yang bagus dan indah. "Namun, yang lebih penting lagi adalah pemaknaan dibalik nama itu," tandasnya.
Yang kedua, kata Jalal, adalah rendahkan diri kita di hadapan kekuasaan Tuhan. Artinya, jangan pernah melepas ibadah dan berdoa kepada Allah SWT.
Dalam Alquran kata Jalal, dikisahkan riwayat Nabi Zakaria yang memiliki anak yang luar biasa cerdas, berhati lembut, taat kepada orang tua dan rajin beribadah. Namun, untuk mencapai hal itu, Zakaria harus menunggu berpuluh tahun dan tidak pernah meninggalkan ibadahnya kepada Allah SWT.
Kisah nabi Yahya Alaissalam yang diriwayatkan dalam Alquran, menurut Jalal harusnya menjadi sebuah pembelajaran bagi orang tua dan calon orang tua yang mendambakan anak saleh.
Jalal juga mengingatkan pentingnya untuk memperbanyak ibadah dan berzikir kepada Allah. Juga menjaga setiap pembicaraan yang keluar dari mulut sang ibu dan ayah. "Lakukan puasa bicara yakni hanya berbicara yang baik, benar dan berfaedah," tandas Jalal. Selain itu, penting bagi orang tua untuk mengonsumsi makanan yang sehat dan halal.

* Sebagai Rahmat
Baik buruknya anak di masa depan, sangat tergantung peran kedua orang tua dan lingkungan sekitarnya. Bahkan kebaikan ini dimulai sejak anak sebelum dilahirkan. "Bagaimana sikap anak di masa depan sangat bergantung juga dari cara pandang orang tua terhadap kehadiran mereka," tandas Jalaluddin Rakmat, pakar komunikasi itu.
Tak sedikit orang tua yang melihat anak sebagai investasi dan aset mereka di masa depan. Karena cara pandang itu, lalu anak dibentuk dengan menyekolahkan di sekolah yang mahal dengan harapan pendidikannya baik, lalu diberikan kegiatan yang padat untuk kehidupan duniawi lalu melupakan kebutuhan naluri anak. Akibatnya mereka menjadi pribadi yang rapuh karena tidak ditunjang dengan nilai-nilai akhlak yang baik.
Ada sejumlah adab yang perlu diperhatikan sebelum kelahiran anak yang harus diindahkan orang tua agar mendapatkan anak yang didambakan.
Jalal mengingatkan bahwa sebelum kelahirannya, orang tua harus memandang anak sebagai ungkapan kasih sayang Allah kepada mereka. Rindukan dan doakan anak yang akan dianugerahkan kepada kita. "Tanamkan pula dalam sanubari kita bahwa anak itu menjadi pelanjut misi kita setelah meninggal dunia," ujarnya.

*Ajarkan Nilai Agama
Setelah mempersiapkan sebelum kehamilan dan kelahiran, pekerjaan orang tua tidak berhenti. Pada masa pertumbuhannya, orang tua harus mengajarkan nilai-nilai agama yang bersumber pada kitab suci. Alquran diyakini mampu mencerdaskan otak anak, melembutkan perasaannya, menyucikan hatinya ,mentakwakan perilakunya, membiasakan berbakti kepada manusia, khususnya significant others.
Dan tak kalah pentingnya adalah mengembangkan social emotional competencenya yaitu empati, perilaku suportif dan kehangatan hubungan interpersonal. (anita@fajar.co.id)